Agenda Sebenarnya Bukan Reformasi


Tatkala Presiden Soeharto pada 14 Mei 1998 pulang dari Mesir dan  pesawatnya memasuki langit Jakarta, terlihat pemandangan di bawah di mana-mana merah membara. Jakarta terbakar. Suasana di dalam pesawat kepresidenan pun mencekam. Wartawan Istana yang mengikuti perjalanan presiden Soeharto menceritakan, suasana mencekam itu sebenarnya sudah terasa sepanjang kunjungan Presiden Soeharto di Mesir, di mana ia memutuskan menaikkan harga BBM, kemudian mengumumkan kembali penurunan harga BBM. Walau demikian tampaknya rakyat tak bisa direm kemarahan dan keberingasannya. Jakarta pun dibakar habis.

Hanya butuh waktu seminggu saja sejak Soeharto kembali pulang ke Tanah Air (14 s/d 21 Mei), akhirnya Soeharto menyerah, pasrah dan mengundurkan diri dari jabatan presiden RI yang telah dijabatnya lebih 32 tahun. Tujuh hari menjelang lengsernya Soeharto niscaya menjadi peristiwa yang paling melelahkan bagi Soeharto, pun bagi siapa saja saat itu yang berdiri di tubir kekuasaan. Baik bagi  yang tetap setia kepada Presiden Soeharto (yang jumlahnya bisa dihitung jari) maupun yang menentang dan pengkhianat yang lazim disebut sebagai “Brutus”. Puluhan buku sudah banyak ditulis oleh berbagai saksi sejarah dengan sudut pandang subyektif yang beraneka ragam.

Tidak ada yang menulis, peristiwa pembentukan Komite Reformasi pada 19 Mei 1998 yang diprakarsai Presiden Soeharto sebagai hasil rembugan dengan 10 orang tokoh bangsa di Istana Negara. Sepuluh tokoh yang dianggap sebagai tokoh nasional dan diajak Soeharto berunding antara lain : (1) HM. Cholil Badawi (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), (2) KH. Ali Yafie (MUI), (3) Malik Fadjar (4) Soetrisno Muhdam (Muhammadiyah), (5) Abdurahman Wahid, (6) KH. Ma’ruf Amin (NU), (7) KH. Abdurahman Nawi (Ulama Betawi), (8) Nurcholish Madjid, (9) Emha Ainun Nadjib (Cendekiawan Muslim, dan (10) Yusril Ihza Mahendra (Ahli Hukum Tata Negara). Didampingi sepuluh tokoh ini Presiden Soeharto mengumumkan terbentuknya Komite Reformasi yang disebut Soeharto sebagai memenuhi tuntutan reformasi yang telah digelorakan seluruh elemen rakyat Indonesia.

Pengumuman terbentuknya Komite Reformasi oleh Soeharto ini disiarkan langsung oleh seluruh saluran TV yang ada. Namun beberapa jam kemudian sudah muncul penolakan dari berbagai pihak. Padahal sejarah mencatat apa yang termaktub dalam rancangan Komite Reformasi itu sudah mengadopsi sepenuhnya  tuntutan reformasi. Menurut HM Cholil Badawi sesungguhnya Amien Rais paling berpeluang menduduki jabatan sebagai Ketua Komite Reformasi. Tercatat sejarah ada tiga tahapan dan langkah-langkah yang akan digelar oleh Komite Reformasi, yakni Tahap Pertama : Penyusunan Undang-undang Pemilu (yang dipercepat), Penyusunan UU Susunan dan Kedudukan DPR/MPR, Penyusunan UU Kepartaian. Tahap Pertama ini akan memakan waktu selama empat bulan mulai 1 Juni 1998 s/d 30 September 1998; Tahap Kedua : Persiapan Pemilu beserta kampanyenya, setelah rakyat mendirikan partai dengan UU yang sangat adil. Tahap kedua ini memakan waktu selama tiga bulan dari 1 Oktober 1998 s/d 31 Desember 1998, dan dilanjutkan pelaksanaan Pemilu pada 10 Januari 1999. Tahap Ketiga : Penyusunan MPR sesuai hasil Pemilu 10 Januari 1999 s/d 25 Februari 1999, dilanjutkan Sidang Umum untuk menetapkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden pada 1-11 Maret 1999. Rangkaian kerja Komite Reformasi ini praktis hanya sembilan bulan saja. Diharapkan kerja Komite Reformasi ini akan menghasilkan pemerintahan yang bersih dan benar-benar dirancang tokoh-tokoh Indonesia sendiri.

Sejarah berjalan yang justru diagonal alias berlawanan dengan rencana kerja Komite Reformasi itu. Amien Rais menolak mentah-mentah terbentuknya Komite Reformasi ini diikuti sejumlah tokoh sekuler lainnya. Dalam waktu dua hari kemudian tepatnya 21 Mei 1998, Soeharto pun mengundurkan diri dan jatuh dari kekuasaan yang didudukinya sepanjang lebih 32 tahun itu. Kabarnya, Amien Rais pun telah menitip pesan kepada beberapa tokoh yang ikut berunding dengan Soeharto menjelang pembentukan Komite Reformasi. Pesan itu adalah, tidak ada  kompromi apapun : Soeharto harus mundur sekarang juga, titik.

Kalau kita baca dokumen rencana kerja Komite Reformasi, niscaya seluruh hajad dan aspirasi reformasi yang telah diteriakkan ratusan kali demonstrasi sebelumnya, bahkan dengan menduduki gedung parlemen, seluruhnya telah dipenuhi oleh Komite Reformasi. Memang diperlukan waktu sembilan bulan untuk membuktikan Komite Reformasi memenuhi janjinya. Tapi sembilan bulan itu, sungguh waktu yang relatif sangat singkat dibandingkan sakitnya derita bangsa ini setelah duabelas  tahun terakhir justru “ditelan” oleh rejim reformasi yang ternyata dikendalikan kepentingan asing yang memaksa harus menerapkan demokrasi liberal.

Tidak berlebihan dengan membaca sejarah di sekitar pembentukan Komite Reformasi ini telah membongkar di balik Peristiwa Mei 1998 yang telah merontokkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Agenda sesungguhnya dari rangkaian peristiwa berdarah-darah itu hakikatnya bukanlah perjuangan mengubah Indonesia dengan reformasi, tetapi usaha penjatuhan Soeharto dengan segala daya. Siapa pengganti Soeharto tidak penting dan sistem yang telah disiapkan pun sejatinya justru agenda asing dan bukan reformasi.

Jika kita mengamati perjalanan akhir kekuasaan Soeharto, sesungguhnya ia telah dibidik sejak 1988, saat ia mulai menyingkirkan sejumlah pejabat negara dari golongan minoritas. Ketika itu entah angin apa yang mengubah pikiran Soeharto, pada Februari 1988 ia memberhentikan Panglima ABRI Jendral Benny Moerdani digantikan Try Soetrisno. Kabarnya sejumlah anggota DPR dari Golkar yang semua jabatan strategis diemban golongan minoritas Kristen tiba-tiba dirombak Soeharto. Begitu halnya sejumlah menteri yang menduduki pos strategis di bidang keuangan, mulai menteri keuangan, menteri perdagangan, menteri Bappenas, Gubernur BI, yang semula selalu diduduki orang-orang Kristen kini diberikan kepada orang Islam. Akhir 1980-an Soeharto malah menampakkan kemesraannya dengan golongan Islam, dengan memprakarsai Kodifikasi Hukum Islam yang kemudian dijadikan RUU Peradilan Agama. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pun didirikan dan diperintahkan dipimpin oleh Habibie yang selalu berceloteh asas proporsional. Dengan kata lain orang Islam yang jumlahnya besar pantas mendapat porsi yang besar pula. Hal ini makin membuat golongan minoritas tersingkir dan sakit hati.

Apalagi kemudian Soeharto bersikap makin tidak menyembunyikan kedekatannya dengan orang Islam. Soeharto dan seluruh keluarganya naik haji. Bank Muamalat pun direstui dan diresmikan berdiri di halaman Istana Bogor. Ketika Pemilu 1992 digelar, makin menyudutkan golongan minoritas, sehingga mulai merancang “perlawanan” dengan situasi yang tidak menguntungkan itu. Koran Kompas lalu menyindiri: Ijo Royo-royo orang cadel mengatakan Ijo Loyo-loyo. Hal ini membuat umat Islam marah. Tapi sindiran tidak berhenti dengan istilah ABRI  Hijau, dan selalu membahas politik proporsional merugikan golongan minoritas. Istilah minoritas diminta untuk dihapuskan. Hakikatnya periode 1992-1997 dari Pemilu ke Pemilu, merupakan penjajagan akhir bagi kelompok minoritas untuk mengukur kekuatan melawan dan menjatuhkan rejim Soeharto.

Krisis Moneter yang hakikatnya diciptakan itu menjadi momentum penjatuhan Soeharto yang amat sempurna waktunya. Dendam  golongan minoritas, akibat penyingkiran Soeharto dibalas dengan ikut merancang penjatuhan Soeharto dengan kedok atau jubah reformasi. Sungguh sayang, jika catatan sejarah yang amat terang-benderang ini tidak dipahami oleh umat Islam, lebih-lebih kaum politisi dan tokoh-tokohnya. Kini golongan minoritas berenang dengan leluasa seraya sesekali terus memukul tak henti-henti di sekujur tubuh umat Islam. Dengan reformasi segalanya membuat orang minoritas bebas memukul mayoritas dengan dalih kebebasan dan reformasi.

Andaikata saja Komite Reformasi tidak ditolak Amien Rais. Perjalanan bangsa Indonesia bukan mustahil lebih mulus dalam perubahan yang justru mensejahterakan rakyat Indonesia.Sangat mungkin ! (Aru Syeif Assadullah)

Sumber : SuaraMuslim