Reformasi, Dari Asing Untuk Asing


Tiga belas tahun reformasi nasib negeri ini kian terpuruk. Pelan tapi pasti bakal menuju negara gagal (failed state). Rupanya asinglah yang memetik buah reformasi 1998.

Sulit untuk disangkal jika dikatakan bahwa buah reformasi 1998 ternyata lebih banyak dinikmati kalangan asing ketimbang bangsa Indonesia. Reformasi 13 tahun silam, yang diidam-idamkan bakal membawa rakyat Indonesia menuju sebuah kesejahteraan ternyata pepesan kosong belaka. Rakyat negeri ini malah makin terjerumus dalam kehidupan liberal dan kesengsaraan. Bahkan lebih liberal dari Amerika Serikat, negara yang telah mensponsori reformasi tahun 1998 lalu dengan gelontoran dana total 26 juta USD melalui United States Agency for International Development (USAID).

Sulitnya tercapai kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana telah dimanahkan konstitusi, karena berbagai aturan yang berbentuk Undang-undang (UU) tak pernah lepas dari desain sejumlah lembaga Asing yang membawa misi penghancuran ekonomi bangsa Indonesia. Secara mengejutkan pada pertengahan tahun 2010 lalu, Badan Intelijen Negara (BIN) melaporkan bahwa 76 UU di DPR disusun oleh konsultan asing.

Adalah anggota Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari yang membuka informasi penting itu ke publik. Yang mengherankan, campur tangan asing itu terjadi pasca reformasi. "Pasca reformasi, berdasarkan hasil laporan BIN, 76 UU kita, dikonsep oleh konsultan asing," kata Eva dalam sebuah acara diskusi pada pertengahan tahun lalu. Menurut Eva, ke-76 UU itu adalah usulan pemerintah. Inti dari intervensi ini adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia, seperti UU tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, Penanaman Modal serta Sumber Daya Air.

Tiga lembaga yang berbasis di Amerika Serikat dituding berada di balik gol-nya sejumlah UU bernuansa liberal dan pro Asing. Ketiganya adalah World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan United States Agency for International Development (USAID). Mereka terlibat sebagai konsultan dalam penyusunan UU.

Hasil konsultasi dengan Bank Dunia lahirlah diantaranya UU No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, UU No 20 Tahun 2002 tentang Kelistrikan, dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara berkat ‘jasa’ IMF lahir UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sedangkan keterlibatan USAID antara lain, pada UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Kesemua UU itu terbukti makin mengokohkan cengkeraman Asing di Indonesia dan menjadikan rakyat hidup menderita. Dampak riil yang dirasakan masyarakat antara lain pendidikan jadi mahal, listrik terus naik, sumber mata air dikuasai swasta bahkan swasta asing, perusahaan-perusaahan asing terus mengeruk kekayaan alam Indonesia, kenaikan harga BBM secara terselubung dengan mengalihkan dari bensin ke pertamax, biaya kesehatan mahal dan lain sebagainya. Sementara rakyat tiap hari selalu dituntut membayar beraneka ragam pajak.

Baru-baru ini bahkan terkuak sebuah LSM asing, United Nations Development Programme (UNDP) ternyata berkantor di Gedung DPR RI. Diduga, keberadaan LSM itu telah mempengaruhi pembuatan undang-undang di DPR dengan menyusupi kepentingan asing. UNDP berkantor di gedung Sekretariat Jenderal DPR, lantai 7 dan di lantai 3 gedung DPD RI. Menurut pengakuan Project Officer Proper Demokratic Governance Unit UNDP Indonesia, Bachtiar Kurniawan, mereka telah menghuni kantor tersebut sejak tahun 1999. Persis setelah reformasi bergulir.

Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, menilai keberadaan LSM asing di DPR semakin memperjelas dugaan adanya pengaruh asing dalam sejumlah penyusunan Undang-Undang yang proses pembahasan dan penetapannya dilakukan di gedung parlemen.

Makin Liberal

Buah reformasi lainnya yang sangat kental adalah makin liberalnya gaya hidup masyarakat Indonesia. Gaya hidup inilah yang selama ini dipromosikan ideologi Kapitalis  yang diemban oleh Amerika Serikat dan negara sejenisnya untuk merusak masyarakat. Semua menjadi serba boleh. Bahkan konon Indonesia menjadi negara yang lebih liberal dari AS. Hal ini dapat dibuktikan, dengan peredaran media porno yang sedemikian bebas padahal di AS sendiri dibatasi. Pornografi dan pornoaksi juga makin merajalela. Artis internasional ikon pornografi ramai-ramai berdatangan ke Indonesia. Tercatat artis porno dari Jepang, Maria Ozawa Miyabi, pernah syuting di Indonesia. Meski kedatangannya saat itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Sementara bintang porno AS, Tera Patrick, batal datang karena mendapat ‘ancaman’ dari Front Pembela Islam.

Saking liberalnya, saat ini mulai ada wacana untuk melegalkan peredaran ganja (mariyuana). Adalah Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang mempelopori kampenye sesat itu. Segelintir aktivis LGN pada Sabtu (7/5/2011) lalu melakukan aksi di Jakarta mendesak pemerintah untuk melegalisasi peredaran ganja. Menurut Ketua LGN, Dhira Narayana, bila ganja dilegalisasi, maka peredarannya akan  bisa diawasi dengan lebih mudah oleh pemerintah. Dhira juga beralasan ganja dapat dimanfaatkan untuk keperluan medis dan industri.

Pendapat Dhira tentu saja mendapat pertentangan keras dari mayoritas masyarakat dan pejabat. Mantan wakil Presiden yang kini menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla tegas menolak kampanye itu. Selain bertentangan dengan UU, Kalla menilai ganja barang berbahaya dan rawan penyalahgunaan di Indonesia. Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji malah menilai pelegalan ganja akan membawa malapetaka.

Profesor Dr dr Dadang Hawari, psikiater yang kerap merawat pemakai psikotropika,  turut membantah pernyataan Dhira yang mengatakan bahwa ganja dapat digunakan dalam bidang medis. “Penelitian dari mana itu? Bohong itu,” kata Dadang. Dunia kedokteran, kata Dadang, saat ini sudah mulai meninggalkan zat yang bersifat adiktif untuk keperluan medis. “Morfin saja sekarang sudah tidak dipakai, diganti analgesik (penghilang rasa sakit) yang tidak membuat kecanduan,” tegasnya.

Liberalnya perilaku masyarakat rupanya juga merembet kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah ada desas-desus kabar bahwa salah satu anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Noura Dian Hartarony, mabuk-mabukan dan naik ke atas meja sambil membagi-bagikan kartu nama di sebuah klub malam di Jakarta, anggota Badan Kehormatan (BK) DPR Nudirman Munir menyatakan, tak ada larangan bagi para wakil rakyat untuk meminum minuman alkohol hingga mabuk.  Syaratnya, kata Nudirman, sang anggota DPR yang mabuk tersebut tidak melanggar ketertiban umum. "Kalau mabuk saja tidak ada sanksinya, tapi kalau dia mengganggu kepentingan umum baru ada sanksinya," terangnya. Walah-walah...kalau anggota dewan wakil rakyat yang terhormat saja pendapatnya seperti itu, bagaimana pula dengan perilaku rakyat yang diwakilinya. Apakah anggota dewan pemabuk bararti wakil dari para pemabuk?. Wallahua’lam. Yang jelas  gagasan gila untuk menghalalkan sesuatu yang telah Allah Swt haramkan ini bermunculan di era reformasi.

Menuju Negara Gagal


Intervensi asing lainnya yang sangat kasat mata adalah dalam penanganan kasus terorisme. Pembunuhan terhadap anak-anak negeri oleh Detasemen Khusus 88 disinyalir oleh banyak kalangan atas perintah dari AS. Termasuk penangkapan terhadap ulama kharismatis pengusung Syariah Islam, Ustadz Abu Bakar Baasyir. Bahkan dana dan pelatihan anggota Densus 88 juga digelontorkan dari negeri Paman Sam dan Australia. Semua itu untuk mensukseskan program AS dalam War On Terrorism (WOT) pasca peristiwa 9/11.

Ansyaad Mbai, yang disebut Anggota Komnas HAM Saharudin Daming sebagai gurunya Densus 88, dalam setiap forum dan ceramah selalu mengatakan bahwa Syariah dan Khilafah adalah tujuan aktual terorisme. Syariah, kata Ansyaad, adalah musuh negara. Sementara dana operasi Densus 88 sebesar Rp. 2,1 triliyun, yang dikatakan Daming seharusnya digunakan untuk remunerasi, justru digunakan untuk membunuhi anak-anak negeri.

Karena itu Daming berkesimpulan bahwa negara telah gagal. Dalam penanganan terorisme, kata Daming, negara telah gagal melahirkan sebuah peradaban yang kondusif.  Negara juga dituding Daming telah gagal menciptakan standar keamanan yang melindungi seluruh elemen bangsa. Apalagi me-manage sistem keamanan yang humanis dan profesional. “Dan saya kira kalau dirunut-runut kegagalannya terlalu banyak”, kata Daming saat menyampaikan closing statement dalam diskusi publik soal Terorisme dan HAM di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (12/5/2011). Sekali lagi, negara yang diwakili oleh Densus 88 dan BNPT malah menghamba kepentingan asing. 

Saatnya Revolusi


Anggota DPR dari Fraksi PAN, Teguh Juwarno mengatakan, sebagai sebuah bangsa, Indonesia bisa dikatakan sebagai bangsa yang rendah diri. Karena semua tergantung asing. Menurut Teguh, potensi penduduk yang besar tidak disertai mental pemimpin yang  berdaulat. "Kita ini sebagai bangsa terbiasa ditanamkan sebagai bekas jajahan. Jadi  mentalnya inlander. Mental penjilat," kata Teguh

Reformasi yang telah bergulir tiga belas tahun lamanya ternyata tidak membawa keberkahan bagi masyarakat Indonesia. Makin ke belakang ternyata Indonesia makin dicengkeram penjajah asing. Perubahan ternyata tak cukup sekedar mengganti rezim, dibutuhkan pula pergantian sistem. Sistemnya pun bukan sembarang sistem. Jika Sosialisme dan Kapitalisme terbukti gagal dalam mensejahterakan manusia, maka kini tiba saatnya Islam untuk mengambil alih kepemimpinan, memimpin masyarakat Indonesia menuju baldatun thayibatun wa rabbun ghafur.